Kiss & Shot

Selasa, 08 Mei 2012 01.08 Diposting oleh Unknown

Setiap hari kita selalu dihadapkan oleh banyak pilihan, mulai dari pilihan yang sepele seperti memilih menu makan makan hingga pilihan tentang memilih pasangan hidup.

Oke, untuk kasusku mungkin pilihan yang besar seperti itu sangat kecil kemungkinan terjadinya. Tapi aku yakin kalau suatu saat aku juga akan dihadapkan oleh pilihan besar dalam hidupku, dan bukan Cuma aku tapi juga semua orang.

Biasanya pilihan-pilihan seperti itu sama sekali tidak berpengaruh kecuali untuk jenis pilihan yang besar dan sangat penting, seperti yang sudah kusebutkan tadi. Kita semua bebas untuk membuat pilihan, apapun yang kita pilih itu semua tergantung keinginan kita dan kita juga harus siap dengan semua konsekuensi yang akan terjadi dari akibat pilihan yang kita buat.

Masalahnya, kita tidak pernah tahu kapan akan dihadapkan oleh suatu pilihan, dan bahkan kadang kita tidak pernah tahu kalau kita sedang berada diantara suatu pilihan, dan pilihan itu adalah pilihan yang akan menentukan hidup kita.

Kebaikan, rasa syukur ataupun penyesalan yang berakibat dari suatu pilihan yang kita buat semua itu harus kita hadapi sendiri, tanpa boleh menyalahkan orang lain, karena semua itu adalah pilihan kita sendiri, dan orang lain memiliki pilihan mereka sendiri.

“Jadi, apa pilihanmu? Apa kau akan memilih untuk membantuku, atau kau lebih memilih untuk hidup normal seperti sebelumnya? Ingat, aku tidak akan memaksamu jadi kau bebas untuk memilih ikut denganku atau tidak”

Kalau dilihat sekilas inti dari pertanyaan itu sangat simpel dan mudah dipahami, aku hanya perlu memilih antara menjawab “YA” atau “TIDAK” tapi aku tahu kalau pilihanku nanti akan mengubah hidupku secara drastis.

Jadi saat ini aku hanya punya dua pilihan antara ya atau tidak, dalam kasus ini seharusnya aku sudah menjawab tidak sejak awal, karena menurutku tidak ada yang lebih baik daripada kembali ke kehidupan normal yang sudah kujalani selama ini. Namun entah kenapa, aku jadi ragu-ragu untuk menjawab tidak, entah karena rasa penasaran ataukah ada alasan lain dalam hatiku yang mencegahku untuk mengatakan tidak, aku sendiri sama sekali tidak mengerti.

Kurasa aku Cuma akan membuat kalian penasaran kalau kuawali ceritaku dari sini, mungkin sebaiknya aku menceritakannya kembali dari awal agar semuanya jelas, tentang pilihan yang kuhadapi ini, lalu tentang siapa orang yang memberiku pilihan ini, dan apa alasannya memberiku pilihan seperti ini.

“. . . .”

Semuanya dimulai sebulan yang lalu, tepatnya pada akhir liburan musim semi yang panjang. Bagiku liburan ini terasa membosankan karena tidak ada yang bisa kulakukan dalam jangka waktu yang sepanjang itu mengingat liburan kali ini sama sekali tidak ada tugas dari dosen manapun yang bisa kukerjakan untuk mengisi liburan, jadi selama liburan berlangsung aku hanya mengisi waktu dengan melakukan pekerjaan favoritku yaitu menggambar ilustrasi dan berbagai disain lainnya. 

Bagiku menggambar adalah salah satu dari bagian hidupku, bahkan ambisiku adalah menjadi illustrator nomor satu di jepang, atau kalau bisa di seluruh dunia. 

Mungkin kalian piker itu Cuma angan-angan muluk yang tidak mungkin terjadi, tapi walau jangan yang mengatakan hal itu mustahil aku tetap terus berusaha untuk mewujudkannya, karena suatu mimpi hanya akan terus menjadi mimpi kecuali kalau kita berusaha mewujudkannya kan? Dan suatu mimpi tidak akan disebut mimpi jika hal itu mudah dilakukan atau didapatkan, karena itulah aku terus berusaha mengejar mimpiku untuk menjadi seniman nomor satu di dunia.

Aku menaruh penghapus dan mengambil kembali pinsil untuk melanjutkan sketsa yang sudah kukerjakan selama lebih dari sejam yang lalu. Bukan sketsa yang macam-macam, hanya gambara pemandangan yang kulihat dari jendela kamaraku saat ini, pemandangan yang damai dan tidak pernah berubah, dan kuharap tidak akan pernah berubah.

Trek, mata pinsil menakik yang kupegang patah dan membuat sebuah coretan kecil di sketsaku, kucoba menekan ujung pensil untuk mengeluarkan mata pensil yang baru, sudah habis, dan persediaan mata pensil di meja kerjaku juga sudah habis, sepertinya aku harus membelinya dulu di minimarket.

Aku turun dari kamarku yang berada di lantai dua menuju ruang makan di lantai satu yang luas namun sepi, karena aku hanya tinggal sendirian di rumah ini, ayah dan ibuku tinggal diluar kota karena pekerjaan mereka, dan meninggalkanku sendirian di rumah besar ini.

Sebenarnya alasan kenapa rumah ini sangat besar adalah karena lantai satu rumah ini dulunya adalah klinik yang dikelola oleh ayahku yang seorang dokter, namun sejak ayah pindah kerja, ibu mengubah tempat ini menjadi semacam penginapan dan akhirnya menjadi apartemen kecil dengan tiga kamar yang masih kosong hingga saat ini. 

Walaupun disebut penginapan buatku tempat ini lebih cocok kalau disebut asrama mengingat tidak ada dapur pribadi ataupun kamar mandi di setiap kamar yang di sewakan. Hanya ada dua kamar mandi di rumah ini, satu dilantai atas dan satu lagi di lantai bawah yang lumayan besar. 

Aku mengambil sepeda yang di parker di samping gudang dan dengan santai mengayuh sepeda menuju minimarket yang berada agak jauh dari sini. Sesampainya di minimarket aku tidak hanya membeli pinsil tetapi juga sekalian membeli beberapa barang lainnya seperti minuman ringan dan malajah game terbaru.
Saat hendak meraih majalah dari tumpukannya, mataku tertahan pada Koran baru yang di tumpuk di rak bawah bagian majalah, aku meraihnya dan membaca halaman depan yang menjadi berita utama koran  tersebut.

Halaman depan dari Koran itu menunjukkan foto tubuh seseorang yang sedang di angkat oleh beberapa orang tim medis menuju ambulans, bagiku foto seperti itu sudah biasa muncul di Koran-koran namun yang menarik perhatianku adlah judul headline dari berita tersebut.

“SEORANG WARTAWAN KORAN LOKAL TEWAS TERTEMBAK DIRUMAHNYA”

Wartawan tersebut ditemukan tewas dalam keadaan duduk membaca Koran dirumahnya, awalnya polisi mengira ini adalah perbuatan pencuri yang masuk ke rumahnya, namun sama sekali tidak ada barang yang hilang dan tidak ada tanda-tanda orang yang mendobrak masuk ke rumahnya. Sampai saat ini polisi masih terus menganalisa kasus ini hingga ditemukan jejak dari si pelaku. 

Sekarang ini baru namanya berita menarik, sudah jarang ada kasus misterius di zaman yang sudah modern seperti ini, karena system keamanan yang semakin tinggi ditambah karena pengawas yang sudah tersebar dimana-mana membuat orang merasa sulit untuk melakukan kejahatan.

Aku masih terus membaca dan membolak-balik halaman Koran tersebut hingga seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Yo, Reichi!”

Aku tersentak dan langsung menutup Koran yang kupegang ditanganku. Kupikir yang menyapaku barusan adalah paman penjaga toko yang marah karena aku membaca Koran seenaknya, tapi saat aku menengok ke belakang, rupanya hanya Sakurai, teman sekampusku.

“Kau ini bikin kaget saja!” Protesku sambil meletakan kembali Koran tadi ke tempatnya semula.

“Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan kok, Cuma heran saja bisa bertemu denganmu disini”

“Aku memang langganan tempat ini, harusnya aku yang heran karena bertemu denganmu di tempat ini, bukannya minimarket ini jauh dari rumahmu?”

“Soalnya minimarket di tempatku sedang di renovasi, jadi mau tidak mau aku harus mencari minimarket lain buka”.

Aku Cuma bisa berkata ooh sambil memasang muka malas. Benar-benar alasan yang tidak masuk akal kalau Cuma gara-gara minimarket tutup sampai harus datang ke tempat yang jauhnya hampir dua kali lipat dari perjalanan rumahmu sendiri, bukannya masih banyak minimarket lain yang buka, aku yakin alasan dia datang kesini Cuma agar bisa bertemu dengan gadis penjaga toko yang manis itu, namun sayangnya hari ini bukan hari kerjanya, seingatku gadis itu hanya jaga pada hari senin, rabu dan jum’at saja, sedangkan sekarang hari sabtu, jadi kurasa usahanya untuk datang ke tempat ini Cuma sia-sia.

“Ngomong-ngomong kapan kita main Airsoft lagi, aku sudah tidak sabar buat membalas kekalahanku yang waktu itu”

“Heh, kau kira kau bisa mengalahkanku? Bukannya selama ini kau tidak pernah menang melawanku” 

“Cih, selama ini kau selalu menang karena memakai senjata yang bagus kan? Lihat saja bulan depan aku akan beli senjata baru yang lebih hebat dari punyamu, aku akan beli SVD!! Dengar?? S…..V....D….!” Ucap Sakurai dengan nada super bangga.

“Kau itu ngomong apa sih, bukannya selama ini aku Cuma pakai MP10 yang murahan?”

Aku menghela nafas panjang, memang tidak akan ada habisnya kalau membicarakan tentang Airsoft dengan orang ini, walaupun aku juga senang kalau membicarakan soal permainan Airsoft ataupun senjata. 

Sayangnya kalau membicarakan hal semacam itu disini bisa makan waktu berjam-jam padahal sekarang sudah sore.

“Maaf Sakurai, kita ngobrolnya lain kali saja, sekarang sudah sore”

“Tumben kau buru-buru pergi, biasanya kalau sudah membicarakan airsoft kau sendiri yang tidak bisa berhenti” Sakurai tertawa kecil

“Ak juga tahu waktu, lagian kalau ngobrol yang begituan disini bisa dianggap mengganggu pelanggan lain”
“Ya sudah kalau begitu” Sakurai menepuk pundakku sambil tertawa kecil sebelum akhirnya melangkah pergi menuju kasir.

Setelah mengambil majalah yang mau kubeli akupun ikut melangkah ke kasir dan membayar semua barang yang kubeli.

Diluar, Sakurai sudah berada diatas sepedanya dan siap untuk pergi.

“Oh iya Reichi. Dua minggu lagi klub Airsoft di universitas akan mengadakan turnamen lagi, jangan lupa datang ya!”

“Ya nanti ku usahakan”

Setelah mengatakan itu Sakurai langsung mengayuh sepedanya, aku juga langsung mengambil sepedaku yang diparkir dan memasukan kantong plastik berisi belanjaan di keranjang sepeda.

Matahari sudah semakin condong kebarat saat aku sudah setengah perjalanan menuju rumah, sebenarnya aku tidak perlu buru-buru pulang karena tidak ada seorangpun yang menungguku pulang, dan aku juga tidak perlu khawatir ada pencuri masuk selama selama pintu rumah selalu kukunci.

Ngomong-ngomong soal kunci, aku jadi teringat sesuatu, apa aku benar-benar sudah mengunci pintu, kalau memang sudah seharusnya kunci  rumah ada di saku kemejaku saat ini.

Dengan ragu aku meraba saku kemeja.

“….”

Tidak ada. Kunci pintu yang seharusnya ada di saku kemejaku tidak ada.

Kalau hal ini terjadi, hanya ada dua kemungkinan yang masuk akal.

Yang pertama, aku memang sudah mengunci pintu tapi kuncinya jatuh di suatu tempat.

Dan yang kedua, aku lupa mengunci pintu dan saat ini kuncinya masih menempel di gagang pintu.

Dari kedua kemungkinan itu aku lebih berharap kemungkinan yang kedualah yang sedang terjadi, dan dengan keyakinan seperti itu dalam pikiranku aku langsung mengayuh sepedaku secepat mungkin.

Tidak jauh didepanku terdapat belokan jalan, tapi aku tetap mengayuh tanpa menurunkan kecepatan sedikitpun karena berbelok di tikungan ini dengan kecepatan tinggi sudah pernah kulakukan berkali-kali, jadi tidak mungkin aku bakal menabrak ataupun jatuh saat berebelok. Mungkin memang seperti itu seharusnya, tapi ternyata…

Seseorang muncul dari arah yang berlawanan dan berada tepat di jalur sepedaku yang melaju dengan kecepatan tinggi. Aku langsung menarik rem depan dan belakang sekuat mungkin dan membelokan sepedaku ke sisi jalan. Hasilnya tubuh dan sepedaku menabrak pagar tembok yang tinggi dengan sangat keras.

Aku berusaha bangkit dan menopang tubuh dengan kedua tangan. 

“Kau baik-baik saja?”

Aku mendengar suara seseorang bertanya padaku. Entah kenapa aku merasa itu adalah pertanyaan yang bodoh, karena bertanya pada orang yang baru saja menabrak tembok dan jatuh dari sepedanya apakah dia baik-baik saja itu tidak membutuhkan jawaban.

Tentu saja aku tidak baik.

Aku mengangkat wajahku, rupanya pemilik suara tadi adalah seorang gadis yang dari penampilannya lebih muda beberapa tahun dariku, dengan rambut hitam lurus panjang sebahu dan bola mata berwarna hijau jernih dan pandangan mata yang tajam. Dia mengenakan kemeja warna kelabu yang dibalut jaket hitam pendek dan celana hitam panjang yang memberinya kesan misterius sekaligus elegan.

Gadi itu mengulurkan tangannya padaku dengan wajah khawatir.

Aku hanya diam dan terus memperhatikan penampilannya.

Tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah.

“Ngapain kau melihatku terus seperti itu?? Hentai!!”

Plaak!! Uluran tangan yang tadinya bermaksud menolongku kini berubah menjadi tamparan yang sangat menyakitkan diwajahku. Aku bangkit dan mengusap pipiku yang sepertinya memerah akibat critical hit barusan, sedangkan gadis itu hanya menyilangkan tangan di depan dada sambil membuang muka.

“Padahal aku sudah baik hati mau menolong, tapi ternyata yang kutolong malah seorang cowok hidung belang” Protesnya kesal.

“Jangan asal ngomong ya, aku bukan hidung belang!”

“Maaf, aku tidak bermaksud melihatmu terus, aku Cuma kaget karena baru pertama kali ini aku bertemu dengan orang sepertimu”

Gadis itu kelihatan bingung.

“Orang sepertiku? Memangnya menurumu aku ini orang yang seperti apa?”

“hmm, bagaimana ya, aku Cuma merasa penampilanmu itu sangat asing, ditambah lagi dari wajahmu kurasa kau bukan orang jepang, walaupun agak mirip”

Aku berusaha menjelaskannya sesingkat dan sesopan mungkin, karena kurasa dia tipe cewek yang sensitif dengan penampilannya.

“Jadi menurutmu aku ini orang aneh, begitu?” Dia bertanya lagi, kali ini nadanya sedikit lebih tinggi.
“Tidak, bukan begitu, kurasa penampilanmu itu unik, dan manis” 

Walaupun sebenarnya aku berkata begitu hanya demi membuatnya tenang, tapi komentar yang terakhir itu jujur karena menurutku dia memang lumayan manis dengan mata hijau dan rambut hitam panjangnya.

Seketika wajah gadis itu kembali memerah.

“Bo, bodoh, kau pikir kau bisa membuatku senang dengan memujiku seperti itu?” 

Lagi-lagi gadis itu membuang muka.

Kali ini aku yang tidak mengerti, sejujurnya aku sama sekali tidak bermaksud memujinya, yang ada aku Cuma berusaha mencegahnya marah saja, tapi kurasa tidak apa-apa asalkan dia senang.

Tanpa bicara lagi aku langsung meraih sepeda yang tergeletak disampingku. Barang belanjaanku tercecer disana-sini. Aku memunguti kembali barang-barang yang berserakan, dan di luar dugaanku gadis itu juga ikut membantuku memungut barang-barangku. Saat itu aku baru sadar kalu gadis itu membawa dua buah koper besar hitam besar yang terletak tidak jauh dibelakang tempat gadis itu berdiri barusan.

“Ini!” Gadis itu memberikan kotak berisi mata pinsil dan majalah kepadaku.

“Terima kasih” Ucapku sambil tersenyum.

Dan untuk ketiga kalinya wajah gadis itu memerah.

“A, aku Cuma tidak tahan saja melihatmu memunguti barang-barang itu sendirian dan bukan ingin membantumu, jadi jangan salah paham!!” Ucapnya dengan nada membentak yang dipaksakan.
Aku Cuma bisa tertawa terpaksa melihat tingkahnya.

Setelah itu aku langsung naik keatas sepedaku lagi.

“Terima kasih sudah menolongku, sampai jumpa lagi”

“Tu, tunggu!!”

Aku yang baru saja mau mengayuh sepeda langsung berhenti.

“Ada apa?” Tanyaku heran.

Gadis itu tidak menjawab, dari tingkahnya kurasa dia ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya dia terlalu malu untuk mengatakannya.

“Ada masalah apa? Bilang saja tidak perlu malu begitu”

“Si, siapa yang malu?!”

“Baik aku mengerti, jadi ada apa?”

“A, aku…”

“Ya?”

“Aku…tersesat!”  Ucapnya pelan.

Untuk sesaat aku terdiam, dan detik berikutnya hanya bisa tertawa tertahan mendengar hal tersebut.

“Jangan tertawa!!”

“Maaf, maaf. Aku Cuma kaget saja, masa Cuma bilang tersesat saja susah sekali”
Ucapku sambil berusaha menahan tawa.

“Diam!!” 

Melihat tampangnya yang seperti mau menangis, akhirnya aku berhenti tertawa.

“Baik, maafkan aku, jadi…..memangnya kau mau pergi kemana?”

Gadis itu menyerahkan selembar kertas padaku.

“Peta?”

Kertas itu berisi peta kota Tenguu, kota tempat tinggalku saat ini yang digambar dengan pulpen, dan di bagian tengah peta itu terdapat satu rumah yang dilingkari, kurasa itu tempat tujuannya. Aku berpikir lagi, rasanya aku kenal tempat yang ditujunya ini, letaknya sama sekali tidak asing di ingatanku, dan setelah mengingatnya sekali lagi, aku baru sadar tempat apa itu.

“Hei, kau yakin mau pergi ke tempat ini?” Tanyaku ragu.

“Iya, memang ada apa dengan tempat itu?”

“Bukan ada apa-apa, masalahnya tempat itu kan…”

“Hmm?”

Aku menggeleng kepala. Siapa gadis ini, kenapa dia ingin dating ke tempat itu?

“Ada apa, kau tahu tempat itu?”

“Ah, tidak,  sudahlah, kalau kau mau, aku akan mengantarmu kesana” Tawarku kepada gadis itu.

“Sungguh?”

“Iya, tapi karena kelihatannya kau membawa koper besar, sepertinya kita harus jalan kaki”

“Tidak masalah, yang penting kau antarkan aku sampai ke tempat tujuan”

Dengan rasa penasaran akupun mulai menuntun sepedaku dan mengantarkan gadis itu menuju tempat yang tertulis di peta.


0 Response to "Kiss & Shot"

Posting Komentar